DUA WAJAH WILAYAH BIMA: ANTARA POTENSI DAN BENCANA

Wilayah Bima, yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa, menyimpan pesona alam yang memukau sekaligus menyimpan potensi ancaman bencana yang tidak bisa diabaikan. Di satu sisi, Bima dianugerahi kekayaan alam, budaya, dan sumber daya manusia yang berlimpah. Namun di sisi lain, wilayah ini juga kerap menjadi langganan bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan gempa bumi. Inilah dua wajah Bima—potensi dan bencana—yang hidup berdampingan dalam keseharian masyarakatnya.

Bima dikenal dengan bentang alam yang unik. Pegunungan yang hijau, pantai yang eksotis, serta padang savana yang luas menjadikan daerah ini sebagai destinasi wisata potensial. Pantai Lariti, Pantai Kalaki, dan Gunung Tambora adalah beberapa contoh kekayaan alam Bima yang belum sepenuhnya digarap maksimal.

Selain keindahan alamnya, Bima juga kaya akan budaya dan tradisi. Nilai-nilai lokal yang diwariskan dari leluhur seperti budaya Mbojo, tarian tradisional, tenun ikat, dan adat Sara Mbojo memperkuat identitas masyarakat. Semua ini menjadi daya tarik tersendiri yang bisa dikembangkan sebagai potensi ekonomi kreatif dan pariwisata berkelanjutan.

Sektor pertanian dan perikanan juga tak kalah menjanjikan. Bima dikenal sebagai salah satu lumbung padi di NTB, serta memiliki perairan yang kaya akan hasil laut. Jika dikelola dengan baik, sektor-sektor ini dapat menjadi tulang punggung ekonomi daerah.

Namun, di balik semua potensi tersebut, Bima juga menyimpan catatan panjang tentang kerentanan terhadap bencana. Setiap musim hujan, banjir menjadi ancaman serius bagi warga, terutama yang tinggal di sepanjang bantaran sungai dan daerah dataran rendah. Banjir bandang yang kerap terjadi bukan hanya mengancam harta benda, tetapi juga keselamatan jiwa.

Ilustrasi Potensi dan bencana Bima

Tak hanya itu, wilayah Bima juga rentan terhadap kekeringan saat musim kemarau panjang. Krisis air bersih dan gagal panen menjadi tantangan berat bagi petani dan masyarakat umum. Di sisi lain, Bima berada di kawasan rawan gempa dan aktivitas vulkanik karena letaknya yang berdekatan dengan Gunung Tambora—gunung berapi yang pernah meletus dahsyat pada tahun 1815 dan mengubah iklim dunia.

Kerentanan ini diperparah oleh faktor lingkungan seperti alih fungsi lahan, kerusakan hutan, dan tata ruang wilayah yang belum sepenuhnya tertata rapi. Banyak kawasan resapan air berubah menjadi permukiman atau lahan pertanian intensif, memperbesar risiko bencana hidrometeorologi.

Menghadapi dua wajah ini, Bima membutuhkan pendekatan pembangunan yang tidak hanya fokus pada penggalian potensi, tetapi juga memperkuat mitigasi bencana. Edukasi kebencanaan di tingkat sekolah, penguatan kelembagaan desa tangguh bencana, serta perencanaan tata ruang yang ramah lingkungan harus menjadi prioritas.

Potensi yang besar hanya bisa dimanfaatkan secara optimal jika wilayahnya aman dan masyarakatnya tangguh. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dunia pendidikan, dan sektor swasta menjadi kunci dalam menjadikan Bima sebagai wilayah yang maju, lestari, dan siap menghadapi ancaman bencana.

Wilayah Bima adalah cerminan dari realitas banyak daerah di Indonesia—kaya akan potensi namun juga rentan terhadap bencana. Tantangannya adalah bagaimana mengelola dua sisi ini dengan bijak. Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, Bima bisa menjadi contoh daerah yang mampu tumbuh dan berkembang meski berada di tengah risiko alam yang tinggi.

Komentar