KEBIJAKAN SATU PETA DAN PERAN PENGINDERAAN JAUH DI DALAMNYA


Gambar. Citra Indonesia (Google Earth)

Kebijakan Satu Peta, yang selanjutnya disebut KSP adalah arahan strategis dalam terpenuhinya satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal pada tingkat ketelitian peta skala 1:50.000 (Peraturan Presiden No. 09 tahun 2016 pasal 1). Terbentuknya kebijakan One Map Policy (Kebijakan satu peta) berawal dari sidang kabinet desember 2010 tentang luas areal hutan di indonesia untuk perhitungan karbon dioksida. Pada saat itu Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pertanyaan tentang luas areal hutan indonesia, akan tetapi jawaban tidak ada yang memuaskan karena tidak ada jawaban yang pasti, Masing-masing lembaga memberikan jawaban yang berbeda tentang luas hutan di Indonesia khususnya kawasan hutan lindung pada saat itu lembaga yang berwewenang adalah kementrian kehutanan dan kementrian lingkungan hidup. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan definisi tentang kawasan hutan lindung dan terutama adalah referensi dasar peta yang diacu/disusun. Oleh karena itu Presisden Susilo Bambang Yudoyono pada saat itu memberikan instruksi harus ada satu peta sebagai rujukan (Karsidi, 2016: 7-8).
Wujud dari implementasi kebijakan satu peta adalah adanya Intruksi Presiden No.10 tahun 2011 pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan hutan Gambut, yang mengintrusikan agar pemetaan kegiatan tersebut merujuk pada peta dasar yang telah dibuat oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Kebijakan satu peta untuk membuat informasi geospasial tematik dimotori oleh UKP4 sehingga Pemerintahan Republik Indonesia memiliki informasi yang jelas tentang kawasan hutan dan kawasan gambut yang benar pada saat itu (Karsidi, 2016: 7-8). Pada era kepemimpinan Presiden joko Widodo kebijakan satu peta lebih diperkuat dengan adanya peraturan Presiden No. 09 tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan kebijakan One Map Policy dengan ketelitian Peta Skala 1:50.000 untuk mendukung pembangunan nasional dan terwujudnya agenda nawacita yang diprioritaskan (Karsidi, 2016: 7-8).
Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (KSP) pada tingkat ketelitian peta skala 1:50.000 bertujuan untuk terpenuhinya satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal guna percepatan pelaksanaan pembangunan nasional serta  percepatan Pelaksanaan KSP pada tingkat ketelitian peta skala 1:50.000 sebagaimana dimaksud, berfungsi sebagai acuan perbaikan data IGT masing-masing sektor; acuan perencanaan pemanfaatan ruang skala luas yang terintegrasi dalam dokumen Rencana Tata Ruang (PERPRES No. 09 tahun 2016 pasal 1 ayat 1 dan 2).
Kebijakan Satu Peta (KSP) mengarahkan supaya penyusunan dan pemanfaatannya harus memenuhi empat hal yang meliputi satu referensi, satu standar, satu database dan satu geoportal. Pemanfaatan dan penerapan dari kebijakan satu peta antara lain dengan dibuatnya Peta Rupa Bumi Indonesia yang dapat di download di Web badan Informasi Geospasial. Peta ini mengandung unsur-unsur seperti, bangunan, penutupan lahan, garis pantai, batas wilayah administrasi, utilitas transportasi, penamaan geografi, bangunan dan fasilitas umum (Karsidi, 2016: 7-8). Peta rupa bumi harus menjadi sumber rujukan baik lembaga ataupun personal yang berkaitan dengan kegiatan pemetaan.
Selain itu BIG juga menghasilkan produk berupa jaringan kontrol geodesi yang merupakan Sebagai salah satu data spasial kerangka kontrol geodesi dan geodinamika tercantum dalam Jaringan Data Spasial Nasional. Data-data geodesi di dalamnya dimanfaatkan oleh pemerintah maupun swasta sebagai referensi untuk pekerjaan pemetaan dan survey rekayasa dan sebagai landasan pengembangan Infrastruktur Data Spasial Nasional (ISDN), jaringan kontrol geodesi harus dijadikan sumber utama bagi pemerintahan maupun swasta yang Sehingga tidak menimbuilkan variasi dan konflik data. BIG juga menghasilkan Sistem Akuisisi Data Toponim (SAKTI) yang merupakan sebuah sistem yang dikembangkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk memfasilitasi pengumpulan nama rupabumi di Indonesia. Sistem ini mulai diluncurkan pada tahun 2016, dengan merilis aplikasi adnroid bernama SAKTI yang merupakan akronim dari Sistem Akuisisi Data Toponim Indonesia. Sehingga tidak ada lagi penamaan yang bervariasi dan berbeda dari peta yang dihasilkan oleh lembaga pemerintah atau swasta. (Retrived from http://www.big.go.id)
Penerapan dari kebijakan KSP lainnya adalah dibangun WebGis yang menyediakan informasi dasar berupa SHP, dan informasi lainnya  seperti penggunaan lahan, hidrografi, hidrologi, Hipsografi, lingkungan terbangun, administrasi, garis pantai yang bisa didownload. Pembuatan Webgis ini bertujuan menyediakan data dan referensi untuk memudahkan pemetaaan baik secara personal ataupun kelembagaan serta menyediakan satu sumber yang wajib dijadikan sebagai acuan dasar (Retrived from http://portal.ina-sdi.or.id)
Survei dan pemetaan geologi serta pertambangan, evaluasi kemampuan dan kesesuaian lahan, perencanaan pengembangan wilayah, pengelolaaan wilayah pantai, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), serta mitigasi bencana alam merupakan contoh dari penerapan penginderaan jauh (Danoedoro, 2012: 16). Sehingga tidak bisa dipungkiri manfaat penginderaan jauh sangat urgensi untuk kegiatan pembangunan suatu wilayah atau negara. Penerapan Kebijakan Satu Peta (KSP) tidak bisa lepas dari data penginderaan jauh. Sebagai bahan dasar. Data penginderaan jauh berupa data alami maupun data olahan disajikan sebagai referensi utama, ini menandakan tanpa adanya peran penting penginderaan jauh terhadap kebijakan tersebut, tidak mungkin semua rencana dan kebijakan yang berkaitan dengan One Map Policy terlaksana tanpa adanya data penginderaan jauh.
Data yang dihasilkan oleh penginderaan jauh dapat berupa data geospasial yang merupakan data tentang lokasi geografis, dimensi, atau ukuran, dan/atau karakteristik objek alam, dan/atau buatan manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi (Perpres No. 09 tahun 2016 pasal 1). Data penginderaan jauh yang berupa data Geospasial (DG) dapat diolah berupa Informasi geospasial yang sangat dibutuhkan dalam perumusan kebijakan hal ini dapat dilihat dari Perpres No. 09 tahun 2016 pasal 1 ayat 5 yang menyatakan bahwa “Informasi Geospasial yang selanjutnya disingkat IG adalah DG yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian”.
Peran data penginderaan jauh dalam mendukung konsep kebijakan satu peta adalah dapat dilihat dari data yang digunakan oleh Badan informasi geospasial dalam mengimplementasikan kebijakan satu peta tersebut serta menyusun peta-peta tematik lainnya, salah satunya, penggunaan data dasar berupa data satelit dan data penginderaan jauh resolusi tinggi serta  mosaik data penginderaan jauh resolusi menengah wilayah Indonesia yang diserahkan oleh pihak lembaga Antariksa dan penerbangan nasional (LAPAN) kepada BIG berupa citra SPOT-5 beresolusi 2,5 meter dan citra SPOT-6 dengan resolusi spasial 1,5 meter. Serta, citra resolusi menengah berupa data dari satelit Landsat-7 dan Landsat-8 (Retrived from http://www.technology-indonesia.com). selain itu penggunaan Peta RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) juga digunakan Oleh BIG untuk penyusunan peta desa Indonesia. BIG mengoleksi data dari tiga sumber data sekaligus, yaitu foto udara, citra satelit 1,5 meter (Spot 6), dan citra satelit resolusi 50-60 cm. Langkah pertama, BIG memotret udara lokasi desa-desa yang akan dibuatkan peta resolusi tinggi. Potret udara merupakan sumber data, sedangkan data lainnya bersifat melengkapi (http://www.sainsindonesia.co.id)
Penggunaan data citra yang ada di Lapan secara nasional telah berlangsung, kemudian dengan keluarnya PP No. 6 tahun 2012, yaitu untuk mengoptimalkan dan meningkatkan efisiensi penggunaan data citra resolusi tinggi (Bakara, 2013: 1). Menurut Intruksi presiden No.6 tahun 2012, mengandung unsur peran data penginderaan jauh sangatlah penting dalam pelaksanaan kebijakan satu peta hal ini dapat dilihat dari intruksi bagian ketiga khusus kepada kepala BIG nomor (b) “bahwa membuat citra tegak satelit penginderaan jauh resolusi tinggi untuk keperluan survei dan pemetaan berdasarkan hasil pengolahan atas data satelit penginderaan jauh resolusi tinggi berupa koreksi radiometrik dan spektral yang dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional” dan bagian (c) “melaksanakan penyimpanan dan pengamanan citra tegak satelit penginderaan jauh resolusi tinggi” serta bagian (d) “melaksanakan penyebarluasan citra tegak satelit penginderaan jauh resolusi tinggi melalui Infrastruktur Data Spasial Nasional”
Pengolahan citra satelit tegak resolusi tinggi sebagai implementasi Inpres No. 6 tahun 2012, membutuhkan data dengan spesifikasi Citra SPOT6 Primary Data (Raw) dan pansharpened, Citra SPOT 5 Level 1A (Raw) dan pansharpened, GCP dengan spesifikasi Akurasi Horisontal : 20 cm dan Akurasi Vertikal : 40 cm, DEM dengan spesifikasi Resolusi DEM : < 10 m, Akurasi DEM : < 7,5 m. Untuk citra satelit dengan resolusi yang lebih baik dari citra SPOT, data citra juga harus memenuhi spesifikasi di atas. Untuk koreksi orthorektifikasi citra resolusi tinggi yang akan digunakan dalam penyusunan RDTR, persyaratan berikut juga diberlakukan: Resolusi citra 0,2 mm x bilangan skala peta yang akan dibuat, Citra belum dikoreksi orthorektifikasi, Inciden angle kurang dari 13 °, Cakupan awan minimum 10% per scene (Juniarti et al, 2014: 6)
Data Citra Satelit Tegak Resolusi Tinggi hasil dari proses koreksi orthorektifikasi yang dihasilkan BIG perlu dikelola serta dibagikan ke Kementrian/Lembaga atau Pemerintah Daerah yang membutuhkan. Pelaksanaan penyebarluasan data citra satelit tegak resolusi tinggi dilakukan melalui simpul jaringan data spasial Nasional. Jadi sangatlah jelas bahwa peran data penginderaan jauh sangatlah urgensi terhadap implementasi kebijakan satu peta, tanpa adanya data penginderaan jauh mustahil kebijakan tersebut dapat terlaksana.




DAFTAR PUSTAKA

Badan Informasi Geospasial. (2017) Retrived from http://www.big.go.id
Bakara, J. (2014). Sistem Menejemen Data Citra Satelit Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi Untuk Kebutuhan Nasional. Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014. Retrived From http://sinasinderaja.lapan.go.id/wp-content/uploads/2014/06/bukuprosiding_751-761.pdf
BIG Fokus Pada Pemenuhan Citra. (2015). Retrived from http://www.sainsindonesia.co.id/index.php/rubrik/geospasial/1418-big-fokus-pada-pemenuhan-citra-resolusi-tinggi
BIG Gunakan Citra Satelit. (2016). Retrived From http://www.technology-indonesia.com/index.php/kesehatan/penyakit-menular/953-big-gunakan-citra-satelit-untuk-pemetaan-desa
Danoedoro, P. (2012). Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: Andi
Ina-Geoportal (2011). Retrived from http://portal.ina-sdi.or.id/home/
Juniati, E., Widyaningrum, E.,& Mulyana, A. K. (2014). Mekanisme Penyelenggaraan Citra Satelit Tegak Resolusi Tinggi Sesuai Inpres Nomor 6 Tahun 2012. Conference: Conference: CGISE2 (2nd Conference on Geospatial Science and Engineering), At Yogyakarta, Indonesia. Retrived from https://www.researchgate.net/publication/314002317_Mekanisme_Penyelenggaraan_Citra_Satelit_Tegak_Resolusi_Tinggi_Sesuai_Inpres_Nomor_6_Tahun_2012
Karsidi, A. (2016). Kebijakan Satu Peta (One Maps Policy) Roh Pembangunan dan Pemanfaatan Informasi Geospasial di Indonesia. (ed.). Badan Informasi Geospasial. Jakarta: BIG
Republik Indonesia. (2011). Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut
Republik Indonesia. (2011). Peraturan Presiden No. 94 tahun 2011 tentang Badan Informasi Geospasial (BIG)
Republik Indonesia. (2012). Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Penyediaan, Penggunaan, Pengendalian Kualitas, Pengolahan Dan Distribusi Data Satelit Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi
Republik Indonesia. (2016). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000
SB. (2016). Lapan Serahkan Citra Satelit ke 9 Instansi. Retrived from http://www.technology-indonesia.com/index.php/component/content/article/129-umum/702-lapan-serahkan-citra-satelit-ke-9-instansi


Komentar